Meneropong Kebijakan E-KTP bagi WNA
Netizen kembali
dibuat kaget dengan viralnya foto Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) yang
berisikan identitas warga negara asing (WNA) asal Cina, Guohei Chen tinggal di
Kabupaten Cianjur – Jawa Barat. Wakil
Ketua DPR RI Fadli Zon bahkan berkomentar bahwa hal ini merupakan salah satu
bentuk penyusupan. Ia menilai kepemilikan e-KTP pada WNA bisa berbahaya bagi
keamanan negara (serambinews.com,26/02/19).
Viralnya e-KTP
ini ternyata berasal dari kesalahan input data Nomor Induk Kependudukan (NIK)
WNI pada Daftar Pemilih Tetap (DPT). Setelah ditelusuri ternyata NIK yang
diinput adalah dari WNA. Potensi salah input ini terletak pada 16 digit angka
yang sama-sama dimiliki e-KTP WNI 7 WNA. Perbedaan hanya bisa dilihat pada
kolom kewarganegaraan (sp.beritasatu.com,
2/3/2019).
Reaksi yang
muncul terkait viralnya foto e-KTP ini pun bermacam-macam, di antaranya
kekhawatiran terjadinya potensi kecurangan dalam pemilihan presiden & wakil
presiden, juga potensi yang membahayakan keamanan negara sebagaimana yang
dilontarkan oleh Wakil Ketua DPR RI.
Namun, sebenarnya ada yang menarik untuk dicermati mengenai hal ini
yaitu tidak sepenuhnya masyarakat mengetahui kebijakan negara mengenai
kepemilikan e-KTP bagi WNA.
Direktur Jenderal
Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri akhirnya menjelaskan
kepada media terkait payung hukum e-KTP bagi WNA yaitu Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2013 untuk Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan (UU Adminduk).
Pada UU Adminduk pasal 63 ayat 7 tertera perbedaan e-KTP WNI yang
berlaku seumur hidup & WNA sesuai masa berlaku Izin Tinggal Tetap. E-KTP ini wajib dimiliki bagi WNA yang
berusia 17 tahun ke atas dan sebagai kartu Izin Tinggal Tetap yang diperbarui
maksimal 30 hari sebelum batas waktu menetap berakhir.
Lalu apa yang
bisa didapatkan oleh WNA bila ia memiliki e-KTP? Tentunya ia memiliki tanda sebagai penduduk
di wilayah tertentu di Indonesia dan pelengkap dalam mengurus administrasi
dalam hal pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan lain-lain. Hanya satu hal yang tidak didapat yaitu hak
suara dalam politik (Pemilu).
Negara-negara
lain sebenarnya sudah menerapkan kebijakan kepemilikan e-KTP bagi WNA dan
dikenal dengan istilah permanent
residency. Indonesia pun merujuk kebijakan ini untuk mengurusi kependudukan
WNA. Di Amerika Serikat ada green card,
Uni Eropa ada blue card, dan seterusnya. Wikipedia menyebutkan 40 negara di dunia dan
28 negara di Uni Eropa yang memiliki kebijakan permanent residency.
Fasilitas kependudukan yang didapatkan oleh WNA pun berbeda-beda,
tergantung kebijakan masing-masing negara tersebut yang tentunya memiliki
kepentingan tertentu dari pemberlakuan kebijakan permanent residency.
Namun pernahkah
Indonesia merujuk kepada Islam dalam mengatur urusan luar negeri?
Islam sebagai
agama yang paripurna ternyata memiliki kebijakan dalam pengaturan urusan luar
negeri. Hal ini diawali dari surat-surat
yang ditulis beserta para utusan yang dikirim oleh Rasulullah SAW untuk
mendakwahkan Islam kepada para penguasa kala itu. Sepeninggal Rasulullah dan
dilanjutkan oleh kekhilafahan, urusan luar negeri ini ditangani oleh Departemen
Luar Negeri yang berada di bawah penanganan Amirul Jihad. Substansi departemen
ini mengurusi urusan dakwah Islam hingga ke penjuru dunia maka tentu harus
menjaga agar urusan luar negeri tidak mengacaukan stabilitas dalam negeri
Khilafah.
Hubungan
internasional antara Khilafah & negara-negara lain terbagi dalam 4 macam
yaitu :
- Negara-negara lain yang merupakan negeri-negeri Islam namun belum bergabung dengan Khilafah. Khilafah menganggap negara-negara ini berada di dalam kekhilafahan.
- Darul kufr mu’ahid yakni negara-negara kafir yang memiliki perjanjian dengan khilafah terkait perdagangan, perdamaian, sains & teknologi atau hubungan diplomatik (pembukaan kedutaan besar/konsulat).
- Darul kufr harbi hukman yakni negara-negara kafir yang tidak memiliki perjanjian apapun dan khilafah bersikap waspada serta tidak boleh membina hubungan diplomatik. Namun ada kebolehan bagi penduduknya untuk memasuki Khilafah dengan paspor & visa khusus (single entry).
- Darul kufr harbi fi’lan yaitu negara-negara kafir yang memerangi khilafah dan negeri-negeri Islam. Tentunya Khilafah memperlakukan negara-negara tersebut dalam kondisi perang, maka seluruh penduduknya tidak boleh memasuki wilayah khilafah.
Kesimpulannya
Khilafah tidak sembarangan memberikan izin masuk & menetap bagi warga luar
negeri (baik muslim maupun non muslim) terkait status negara yang
bersangkutan. Khilafah pun harus jeli
dan waspada akan konstelasi politik dari negara-negara di dunia, sebab bukan
hal yang mustahil bila sewaktu-waktu teman menjadi musuh dan demikian
sebaliknya.
Untuk kebijakan permanent residency, hal ini tentu tergantung
pertimbangan dari khalifah terkait stabilitas keamanan baik dalam & luar negeri. Namun, jelas baik visa single entry ataupun permanent
residency tidak berlaku bagi penduduk negara-negara kufr harbi fi’lan yang secara nyata memerangi Khilafah &
wilayah negeri-negeri Islam.
Wallahu’alam Bish Shawab.
Mia Yunita
(*Dikirim untuk Radar Indonesia & VOA Islam, tapi tidak dimuat
Post a Comment for "Meneropong Kebijakan E-KTP bagi WNA "
Terima kasih untuk kunjungan & komentarnya ya. Jangan bosen mampir ke blog ini. Oya, jangan tuliskan link hidup pada komentar Anda.