Kompas.com (24/12/2017) merangkum 11 kasus ‘ujaran kebencian’ (hate
speech) yang terjadi selama tahun 2017. Kepolisian pun telah membentuk
Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri guna menindak kasus ini. Ujaran kebencian sendiri biasanya diviralkan
melalui media sosial baik berupa rekaman video, unggahan status & gambar
editan (meme).
Sebelas kasus
tersebut memuat sederet nama yakni Ropi Yastman, Ki Gendeng Pamungkas, admin
akun instagram Muslim_Cyber1, Muhammad Tamimi, Ringgo Abdillah, Kelompok
Saracen (Mohammad Faisal Todong, Sri
Rahayu Ningsih, Jasriadi, dan Mahammad Abdullah Harsono), Dodik Ikhwanto, Asma
Dewi, Ahmad Dhani, Jonru Ginting & Siti Sundari Saranila. Mereka dilaporkan kepada pihak berwajib
karena dianggap melanggar Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45a UU ITE dan atau Pasal 4
huruf d angka 1 juncto Pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008
tentang Penghapusaan Diskriminasi Ras dan Etnis. Sebagian besar
dari nama-nama tersebut telah divonis hukuman penjara. Demikian halnya dengan Alfian Tanjung.
Ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah adalah salah satu penyebab dari
dilakukannya aktivitas ujaran kebencian ini.
Sebenarnya
masih ada nama-nama lainnya yang dianggap menyebar ujaran kebencian namun hukum
yang berlaku atas para pelaku kasus tersebut terkesan tumpul ke atas. Sarat dengan kepentingan tertentu. Contohnya saja seperti kasus pidato Viktor
Laiskodat yang dilaporkan oleh sejumlah partai karena mengaitkan partai politik
PAN, Gerindra, Demokrat dan PKS sebagai pendukung Khilafah. Kasus ini nampak tenggelam, disebabkan Viktor
memiliki hak imunitas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Kewenangan atas keputusan kasus inipun
berada di tangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bukan polisi berdasarkan
status Viktor sebagai anggota dewan (cnnindonesia.com, 24/11/2017).
Kemudian
di akhir tahun 2017, Koordinator Laporan Bela Islam (KORLABI) & Ratih Puspa
Nusanti melaporkan Ade Armando dosen di
Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia (FISIP UI) atas
dugaan ujaran kebencian yang ditujukan kepada Habib Rizieq Shihab melalui
unggahan Facebook dari akun pribadinya.
Pada tanggal 2/1/2018 status Ade masih sebagai pihak terlapor.
Sebelumnya, sekitar Agustus 2017 Ade juga menjadi tersangka kasus ujaran
kebencian namun berhasil lolos melalui usaha praperadilan (tirto.id.,
30/12/2017 & 2/1/2018).
Dilansir dari
tribunnews.com (26/03/2017), sebenarnya ada upaya tindak lanjut yang dinamakan restorative
justice terhadap pelaku & korban ujaran kebencian. Menurut Kepala Subdit IT dan Cyber Crime
Bareskrim Polri, Kombes Polisi Himawan Bayu Aji bahwa tindakan ujaran kebencian
tidak selalu dipidana. Restorative
justice bisa dilakukan terhadap pelaku yang hanya ikut menyebarkan hoax
atau ujaran kebencian tetapi tidak menjadi viral. Namun, ada kewajiban bagi si pelaku yakni
meminta maaf dan menghapus konten yang disebarkan.
Edukasi dalam
menyampaikan pendapat di dunia maya memang sangatlah penting. Baik dalam segi
konten dan tatanan kalimat baik lisan maupun tulisan, Seseorang menyampaikan pendapat belum tentu
sebagai ujaran kebencian namun sebenarnya bisa jadi untuk mengoreksi kebijakan
dari pemerintah, ataupun koreksi terhadap individu tokoh &
golongan/komunitas/kelompok tertentu. Namun,
jangan sampai pula tindak lanjut pemberlakuan hukum terhadap kasus ujaran
kebencian berpihak kepada kepentingan tertentu.
Sebab nantinya justru terlihat adanya ketimpangan hukum.
[Banjarmasin, 10/01/2018]
0 Comments
Terima kasih untuk kunjungan & komentarnya ya. Jangan bosen mampir ke blog ini. Oya, jangan tuliskan link hidup pada komentar Anda.