2017 Stop Kirim PRT
Katanya
Presiden Langgar Nawacita
Migrant Care memprotes keras rencana kebijakan dari
Presiden Jokowi yang akan menghentikan pengiriman Tenaga Kerja Wanita (TKW) - Pembantu
Rumah Tangga (PRT) ke luar negeri. Pelanggaran
Presiden Jokowi terhadap Nawacita ( 9 Agenda Prioritas Visi-Misi Jokowi &
Jusuf Kalla) adalah salah satu alasan yang mendasari tindakan protes tersebut.
Press release yang dikeluarkan pada
tanggal 14 Februari 2014 oleh Migrant Care memaparkan bahwa alasan dari
Presiden Jokowi merencanakan kebijakan ini
karena pengiriman TKW-PRT migran dianggap sebagai sumber masalah &
merendahkan martabat bangsa. Realitanya
justru para pahlawan devisa yang berstatus PRT migran ini berjasa menggalang
suara untuk terpilihnya Jokowi menjadi Presiden.
Para aktivis
pembela pahlawan devisa juga menyatakan bahwa Presiden berpotensi melanggar kontitusi
hak WNI untuk mendapatkan pekerjaan yang layak & pengkhianatan terhadap
visi-misi Nawacita sebagaimana dilansir dari www.migrantcare.net situs resmi
Migrant Care.
Ketua BNP2TKI sendiri menyatakan bahwa pada tahun 2017
pemerintah akan menyetop pengiriman PRT migran.
Pemerintah akan meng-upgrade skill
dari SDM yang hanya tamatan SD agar nantinya tidak lagi menjadi PRT migran bila
bekerjadi luar negeri (Liputan6.com/ 20/2/2015). Maka yang saya pahami di sini berarti pemerintah
tetap mengirim tenaga kerja ke luar negeri dengan SDM laki-laki dan perempuan
namun tidak berprofesi sebagai PRT migran. Selain itu juga akan ada
program padat karya di daerah
masing-masing bagi para perempuan agar tidak menjadi PRT Migran.
Polemik
PRT Migran
Indonesia adalah salah satu negara yang memfasilitasi pengiriman tenaga kerja ke luar negeri untuk mengurangi
jumlah angka pengangguran. Menurut data BNP2TKI (2012) bahwa 76 % dari TKI
adalah perempuan & 90 % nya bekerja sebagai PRT migran. Para perempuan yang menjadi PRT migran ada yang berstatus
belum dan sudah menikah. Tujuan mereka
mengadu nasib menjadi PRT migran tentunya adalah untuk mendapatkan penghasilan
yang lebih baik. Para PRT migran dari
Indonesia hingga kini tersebar di berbagai negara seperti Malaysia, Singapura,
Arab Saudi, Hongkong, Taiwan dst.nya.
Tidak seluruh PRT migran bermasalah
dalam pekerjaan mereka namun bila ada persoalan yang mencuat hal ini menjadi
polemik antar hubungan negara. Mulai
dari menjadi korban pelecehan seksual,
pembunuhan, pemerkosaan juga penyiksaan. Sepeti kasus Erwiana yang sudahlah
disiksa oleh majikan, gajinya pun tak dibayar.
Para PRT migran ini pun ada yang menjadi
tersangka pelaku kriminalitas yang akhirnya harus menjalani hukuman penjara
hingga hukuman mati di negara yang mempekerjakan mereka. Ditambah lagi
iklan-iklan yang dibuat oleh oknum-oknum tertentu dari negara tetangga yang
menerima PRT migran untuk dipekerjakan di negara tersebut namun berkesan
melecehkan status PRT migran Indonesia. Masih
ingat kasus iklan ‘Indonesian Maids On Sale’ & ‘RoboVac’ ?
Diskriminatifkah
Kebijakan Ini ?
Berangkat dari ide liberalisasi
& kesetaraan gender maka rencana dari kebijakan pemerintah ini dianggap
diskriminasi bagi kesempatan perempuan bekerja & mandiri secara ekonomi oleh
para aktivis pembela buruh migran. Convention On The Elimination Of All Forms
Of Discrimination Against Women (CEDAW) atau Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pasal 11 dijadikan landasan
akan hak bekerja bagi perempuan. Mereka lebih menuntut kebebasan dan perlindungan
hukum bagi para perempuan yang bekerja.
Wajar protes
diskriminatif ini terlontar bila
perempuan tersekat dalam sistem kapitalisme.
Mereka berpikir perempuan lebih
berharga & produktif bila mampu bekerja serta menghasilkan uang. Tapi ingatkah mereka akan nasib rumah tangga
serta anak-anak para PRT migran ini ?
Long distance relationship dengan
keluarga dan anak dijalani oleh para PRT migran dengan keterpaksaan demi
kesejahteraan yang lebih baik. Namun, kasus
perselingkuhan, perceraian juga pola asuh anak yang salah ditangani oleh
orang-orang yang dipercayakan mengasuh anak-anak mereka justru memprihatinkan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan &
Perlindungan Anak pun mengeluarkan Panduan Umum Bina Keluarga TKI untuk
mensolusikan permasalahan ini namun tak kunjung tuntas.
Kapitalisme Tidak Solutif
Simbiosis
mutualisme antara ide kebebasan bekerja bagi perempuan dan kapitalisme
seharusnya disadari oleh kita semua dalam masalah pengiriman PRT migran
ini. Mengejar kemelimpahan materi
bukankah tidak harus dengan meninggalkan keluarga ? Tentunya mengelola rumah tangga &
mendidik anak adalah hal yang terpenting. Islam juga tidak melarang untuk beraktivitas
di ranah publik selama perempuan tetap dalam koridor syariah.
Islam sebenarnya membolehkan perempuan bekerja asal
sesuai tuntunan syariah, juga tidak dalam kondisi tertekan secara ekonomi dan
sosial. Negara posisinya berperan memberi keamanan bagi perempuan dalam bekerja. Negara seharusnya tidak menjadikan perempuan
sebagai mesin-mesin pencari uang bagi kekayaan negara & keluarga namun justru
mengangkat kemuliaan perempuan dengan memposisikan mereka pada posisi yang
terhormat. Tugas negara juga harus
menjaga fungsi keibuan dari perempuan agar ia melahirkan generasi-generasi yang
berkualitas. Intinya negara berperan
penting memberikan edukasi & kehidupan yang layak bagi rakyatnya termasuk
perempuan. Khilafah Islam lah yang mampu
mewujudkan hal tersebut.
Para perempuan di masa kegemilangan Islam
terjun ke ranah publik tidak untuk dieksploitasi
demi kucuran harta. Kiprah intelektualitas
perempuan sebagai kontribusi bagi peradaban yang berlandaskan keimanan membuat
mereka dihargai sebagai perempuan seutuhnya dan bukan sebagai komoditas dagang. Masihkah kita terus bertahan dalam
kapitalisme ? Kapitalisme lah yang
sebenarnya menjerumuskan perempuan pada kebebasan & kebahagiaan semu dalam
berkiprah di ranah publik.
Post a Comment for "2017 Stop Kirim PRT"
Terima kasih untuk kunjungan & komentarnya ya. Jangan bosen mampir ke blog ini. Oya, jangan tuliskan link hidup pada komentar Anda.