Benarkah Banua Kita Dicengkeram HIV/AIDS
“Lima besar kasus HIV/AIDS di Kalsel adalah
Banjarmasin 242 kasus, Tanah Bumbu 232 kasus, Banjarbaru 89 kasus, Kotabaru 48
kasus dan Banjar 23 kasus. Ada 745 ODHA
(Orang dengan HIV/AIDS) yang tercatat hingga 2013,” www.antarakalsel.com
(15/4/2014) memberitakan mengenai perkembangan HIV/AIDS di banua kita.
Sungguh memprihatinkan !
Jajaran Dinas Kesehatan sendiri sebenarnya sudah
menangani kasus HIV/AIDS ini seoptimal mungkin.
Kadiskes Kota Banjarmasin dr. Diah R. Purwati menjelaskan bahwa Dinas
Kesehatan melakukan berbagai upaya seperti penjangkauan populasi kunci yaitu waria, LSL
(Lelaki Suka Lelaki), WPS (Wanita Pekerja Seksual), Ibu RT yang tertular HRM (High Risk Man/Pelanggan Pekerja),
pekerja hiburan. Melakukan Zero
Survey/Voluntary Counseling Test di beberapa tempat hiburan, tempat pekerja
dan instansi. Juga sosialisasi di
sekolah-sekolah berupa penyuluhan ABAT (Aku Bangga Aku Tahu), pondok pesantren,
kelurahan, kecamatan, Dharma Wanita, PKK, tempat hiburan, populasi kunci dan
lainnya (http://banjarmasin.tribunnews.com.14/9/2014).
Menurut Executive
Director LSM Indonesia AIDS Coalition (IAC) Aditya Wardhana,
“Epidemi HIV di Indonesia sendiri berjalan terus meningkat dan sangat
memprihatinkan.” Indonesia dalam laporan
triwulan kedua 2014 Kementerian Kesehatan dari Januari-Juni 2014 melaporkan ada
15.534 kasus HIV baru dan 1.700 kasus yang sudah dalam stadium AIDS (http://www.rmol.co. 12/11/2014)
Apa permasalahannya sehingga angka
penderita HIV/AIDS terus meningkat ?
Tidak hanya di Kalsel namun juga daerah-daerah di Indonesia lainnya
seperti Kaltim, Kalteng bahkan Bali, Papua juga Aceh. Apakah pembiayaan untuk edukasi serta
publikasi yang masif adalah kendala ?
Thailand, adalah salah satu negara
percontohan yang dianggap mampu meminimalisir angka penderita HIV/AIDS. Walaupun realitanya tidak berubah dimana
lesbian-biseksual-gay-transgender (LBGT) masih eksis. Ternyata edukasi
masyarakat dilakukan dengan membuat
iklan layanan masyarakat mengenai HIV dan AIDS di 488 stasiun radio dan 6
jaringan televisi setiap jamnya. Ternyata hal ini mampu menekan besarnya angka
infeksi HIV/AIDS (http://www.rmol.co 12/11/2014). Wallahu’alam.
PBB dengan UNAIDS dan WHO selalu menggencarkan ABCD yakni, A= Abstinence alias jangan
berhubungan seks bebas; B= Be faithful
alias setialah pada pasangan, C= Condom alias
pakailah kondom, atau D= no use Drugs
atau hindari narkotika. Namun sebenarnya
hal ini tidak cukup karena budaya permisif kian merebak.
Respon masyarakat sendiri terhadap
kegiatan edukasi sepertinya masih rendah. Kadiskes Kalsel Achmad Rudiansjah
mengatakan tingginya kasus HIV/AIDS pada usia muda produktif (20-39 tahun)
karena minimnya pengetahuan mengenai HIV/AIDS.
Juga makin tinginya budaya permisif terhadap perilaku yang dinilai
melanggar norma agama & budaya (www.antarakalsel.com. 15/4/2014).
Edukasi kondomisasi yang digencarkan pun
sebenarnya sudah tidak efektif karena mendorong ke arah seks bebas. Kemasan
kondom saja sudah mencantumkan peringatan : No method of contraception can give you 100%
protection against pregnancy,HIV or sexually transmitted infections. Keberadaan LGBT dengan perilaku seksual yang negatif
dan gonta-ganti pasangan yang juga dilakukan secara heteroseksual masih terus
berlangsung. Seharusnya masyarakat paham
bahwa aktivitas yang mereka lakukan beresiko tinggi dalam penularan HIV/AIDS
dan sebaiknya segera melakukan tes darah untuk mengetahui apakah terinfeksi
atau tidak.
Indonesia juga adalah salah satu
negara yang ikut dalam pasar bebas. Siapkah Kalsel memfilter masuknya budaya luar
serta para pekerja asing & turis mancanegara yang kemungkinan semakin
banyak berdatangan ke banua kita ? Tentunya akan ada kemungkinan aktivitas
seksual dan membuka peluang infeksi HIV/AIDS. Permasalahan ini tidak hanya
selesai dengan ‘kondom’ saja.
Sayangnya lagi akibat minimnya
kesadaran masyarakat dari informasi mengenai HIV/AIDS akhirnya juga tidak siap
saat ODHA beraktivitas bersama mereka.
Justru yang ada adalah diskriminasi.
Padahal, ODHA saat ini justru ada pada orang-orang yang tidak memiliki
perilaku seksual negatif. Tapi mereka
tertular berhubung mereka notabene berstatus sebagai suami, istri atau anak.
Dilansir dari www.antarakalsel.com bahkan tercatat 14 balita juga terinfeksi HIV/AIDS
(15/4/2014).
HIV/AIDS memang tidak cepat menular
seperti pilek, batuk, cacar. Jadi, tidak
akan menular bila kita kontak biasa misalnya bercakap-cakap, berdiskusi,
gotong-royong, belajar bersama. Tapi
cepat menular bila melakukan aktivitas ‘pertukaran cairan’ (darah, cairan
sperma – vagina & ASI). Bila memang wajib dikarantina agar perawatan &
pengobatan bisa dilakukan dengan intensif, seharusnya dilakukan tanpa membuat
para ODHA merasa terdiskriminasi. Selama
karantina juga tetap dilayani haknya dalam mendapatkan kebutuhan hidup,
pendidikan, peribadatan juga motivasi.
Menurut saya, jangankan untuk penderita HIV/AIDS, bagi masyarakat umum
saja masih kesulitan mengakses layanan kesehatan yang berkualitas dengan harga
terjangkau. Memang negara telah
mengantisipasi dengan JKN namun menurut saya hal ini masih belum optimal. Indonesia juga masih tergantung dengan
bantuan luar negeri. Obat Anti
Retroviral (ARV) produk impor generik yang dikonsumsi oleh terapi penderita
HIV/AIDS justru harganya lebih murah dibanding produk dalam negeri. Itupun,
penyebaran stok belum merata.
Seluruh lapisan masyarakat sejatinya
harus memahami bila HIV/AIDS tidak dicegah dan ditanggulangi secara serius maka
akan mampu memusnahkan generasi. Islam
sejak awal sudah menanamkan keimanan dan mengatur interaksi antara manusia berdasarkan
syariat-Nya. Tidak ada dalam Islam
dibolehkan melakukan pergaulan bebas, berzina, juga melakukan hubungan seksual
dengan sesama jenis. Islam justru mengembalikan para perempuan & laki-laki
kepada fitrahnya. Bukannya mendorong
mereka menjadi lesbian, gay dan transgender.
Na’udzubillah min dzalik.
1 Desember selalu diperingati setiap
tahun sebagai hari AIDS sedunia. Ironisnya, angka pengidap HIV/AIDS kian
bertambah. Saya berharap momen tersebut tidak hanya sebatas seremonial namun
dijadikan sebagai pengingat bahwa Islam sebagai ideologi sudah seharusnya
diterapkan demi menyelamatkan generasi. Jangan biarkan ide – ide sekuler dan
liberal yang menghalalkan seks & pergaulan bebas merusak generasi. Apalagi eksistensi LGBT, prostitusi, tempat
hiburan malam, tayangan-tayangan pornografi yang sebenarnya memiliki peluang
besar menyebarkan HIV/AIDS wajib dinihilkan. [*]
dikirim u. Opini ke Banjarmasin Post - tapi tidak dimuat.
Post a Comment for "Benarkah Banua Kita Dicengkeram HIV/AIDS"
Terima kasih untuk kunjungan & komentarnya ya. Jangan bosen mampir ke blog ini. Oya, jangan tuliskan link hidup pada komentar Anda.